Ini Rasanya

Selamat Idul Fitri

Tulisan pertama setelah malas+libur lebaran. Banyak cerita yang ingin dituliskan tapi sering lupa. Kebiasaan menulis ini memang belum melekat dalam diri ini.

Pulang kampung selalu banyak cerita. Mudah-mudahan bisa saya tuliskan di sini. Untuk dibaca anak keturunan nanti.

Cerita kali ini berhubungan dengan ketertarikan saya terhadap mobil. 

Selama di Bukittinggi, saya berkesempatan mencoba beberapa mobil. Avanza Karcher Ayah, Innova Lux Da Eng dan Feroza Ni Si. Pengalaman yang memperkaya diri saya dan memuaskan hasrat pribadi.

Daihatsu Feroza, produk buatan 90an, sedang trend saat saya duduk di bangku SMP-SMA. Kaca bening dan tongkrongan ceper merubah mobil sekelas ‘jip’ ini menjadi primadona anak muda Bukittinggi.

Di Garegeh, sebelah SMA saya, ada bengkel mobil yang sering didatangi geng Feroza. Satu, dua bahkan lebih Feroza parkir di sana. Semua dengan gaya sama, kaca bening,ceper dan knalpot gambot. Saya akui ada ketertarikan ingin merasakan bagaimana rasanya naik Feroza ceper. Baru 15 tahun kemudian keinginan itu terwujud.


Gagah bukan?

Itu yang saya rasakan saat membawa Feroza ini keliling Bukittinggi. Mobil bongsor, supir sangar dijamin tidak ada yang berani di jalan (tertawa).
Mobil ini dibuat untuk  cruising bukan racing. Driving slow car fast begitu mungkin. Saya sangat menikmati melaju dengan mobil ini 50km/jam di gigi 3, kaca diturunkan, angin semilir, tidak perlu musik karena knalpot berisik sambil menikmati sawah kiri kanan menyongsong Gunung Marapi dan Singgalang. What a feeling!!! Satu pengalaman yang membuat saya ingin membeli satu buat sendiri dan pulang kampung.

Dengan segala kekurangannya, kemudi kosong, gigi berisik, power window yang ngadat, bensin boros, mobil ini sempurna buat saya. Banyak contoh lain dengan kondisi lebih baik dengan harga 40-50 juta. Yah, saya sering buka OLX sambil bermimpi membelinya  segitu inginnya.

Terimakasih untuk Bunda Dessy Andriani sudah meminjamkan Feroza kesayangan dan menerimanya kembali lengkap dengan bumper kiri depan yang coak hasil tabrakan dengan pagar rumah.

Love you, Bund.

Hidup Cepat

Satu hari dua tulisan.

Mudah-mudahan saya tidak panas-panas tahi ayam.
Menjadi dewasa, Anda mendapat bonus. Tanggung jawab.
Itulah yang mengirim saya ke sini, ke Jakarta. Saya tidak mengeluh karena tidak akan mengubah apa-apa. Saya bersyukur karena Jakarta membayari makan saya, baju saya, pernikahan saya, popok anak saya, cicilan dan lainnya.

Kota ini berbeda dengan kota-kota lain yang saya diami dalam waktu lama. Tidak banyak kota persinggahan lama saya, 17 tahun saya habiskan di kota kelahiran saya, Bukittinggi,  dan 7 tahun berikutnya di Bandung. Kota ini, Jakarta, sudah mengkonsumsi saya selama 3 tahun. Waktu berjalan lebih cepat di Jakarta. Langkah-langkah kaki pekerja di koridor busway, menit-menit yang terbuang dalam kemacetan dan debu yang menempel di wajah pemotor semua menjadi baterai bagi jam Jakarta untuk berputar lebih cepat. Jakarta memang bukan tempat untuk leyeh-leyeh, kamu harus bergerak untuk survive.

Apakah ini terjadi di kota-kota saya yang lain? Tidak. Bukittinggi kota yang pelan. Tidak besar tuntutan di Bukittinggi. Kamu cukup menjadi PNS atau berdagang sudah cukup, malam kamu pergi ke surau. Nyaman sekali.

Bandung kental dengan pendidikan. Langkah-langkah cepat berganti dengan langkah selow bergerombol. deru skateboard, gemerincing sepeda. Saya selalu takjub bagaimana Bandung bisa membuat warganya bebas berekspresi, kreatif. Tongkrongan danruang publik digunakan warganya, yang terakhir ini di dukung oleh hawanya yang sejuk. Kalaulah Jakarta sesejuk itu, saya yakin akan berbeda pemandangannya.

Apakah saya termasuk yang melangkah cepat di Jakarta? Saya harus. Ritmenya sudah merasuki saya. Sudah nyaris mencekik leher. Penawarnya bersosialisasi, keluarga, teman, tetangga jadi obat yang ampuh.

Apalah yang dikejar orang-orang ini? Saya bertanya kepada diri sendiri. Mari kita hidupkan lagi budaya Siesta, tidur siang, supaya otak dan tubuh ini istirahat. Supaya semua berhenti melangkah sejenak.

Ingat Siesta, ingat Sumber Hidangan di Braga. Mari kita sruput es krim rum-nya sambil mengunyah Pieter Ballen. Eits, ke sana jangan siang-siang. ya. Bapaknya mau siesta dulu.